Selamat Datang di Blog Fauziah Amriny. Selamat Membaca

Minggu, 23 Desember 2012

Outsourching Di Dunia Perbankan Dalam Pandangan Maqashid Syariah



Praktek kerja outsourching, bukanlah hal baru dalam dunia kerja di Indonesia. Semenjak krisis financial melanda Asia Tenggara dan Asia Timur pada tahun 1997, praktek kerja outsourching semakin marak di Indonesia. Apalagi sejak pengesahan Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Indonesia. Lahirnya Undang-Undang ini, memberikan peluang kepada perusahaan di Indonesia untuk mengadopsi fleksibilitas pasar tenaga kerja yang memungkinkan terjadinya praktek outsourching tenaga kerja. 


Dalam pandangan konvensional, tenaga kerja dan capital memiliki kedudukan yang setara, dimana keduanya adalah subtansi yang sempurna. Penggunaan tenaga kerja, sebagaimana penggunaan modal, dapat sepenuhnya saling menggantikan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan produktifitas. Sehingga dalam praktek nyata, implementasi konsep subtitusi ini telah menimbulkan berbagai permasalahan ekonomi sosial, salah satu yaitu ekploitasi dan pemutusan hubungan kerja dan berbagai bentuk dehumanisasi lainnya (Ekonomi Islam: 264).  

 Hubungan ketenaga kerjaan dengan sistem outsourching tidak hanya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang industri, namun juga perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa seperti perbankan. Salah satu alasan perusahaan melakukan praktek kerja outsourching yaitu, untuk efektifitas dan efisiensi biaya perusahaan. Dengan diberlakukannya sistem kerja outsourching, berarti perusahaan bisa melakukan efisiensi biaya  dengan mempekerjakan tenaga kerja tetap dengan jumlah seminimal mungkin. Hal ini dilakukan agar perusahaan bisa lebih fokus memberikan kontribusi pada bagian inti perusahaan atau dikenal dengan istilah core business.

Namun praktek kerja outsourching yang dilakukan di Indonesia saat ini sudah mulai keluar dari pengertian yang sesungguhnya. Begitu banyak pekerja outsourching yang dirugikan dengan adanya praktek kerja ini. Meskipun semua aturan tentang outsourching sudah dijelaskan di dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003, tetapi aturan ini masih sering dilanggar oleh perusahaan. Hal ini menyebabkan terjadinya protes dari para pekerja outsourching yang akhirnya membuat Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan beberapa kali revisi undang-undang demi melindungi hak-hak pekerja. 

Pada tanggal 9 Desember 2011, Bank Indonesia menerbitkan PBI No 13/25/PBI/2011 tentang prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang akan melakukan praktek outsourching terhadap karyawannya. Peraturan ini menjadi pedoman bagi praktik outsourcing di industri perbankan nasional. Dalam PBI tersebut, pekerjaan di bank dibedakan dalam dua kelompok berdasarkan sifatnya, yakni pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang. Pekerjaan penunjang inilah yang diperbolehkan untuk di-outsource-kan atau dialih dayakan kepada pihak ketiga. Di dalam aturan itu dijelaskan bahwa praktek kerja outsourching hanya boleh dilakukan untuk bagian-bagian pekerjaan yang bersifat menunjang (non core business) atau kegiatan usaha pendukung usaha bank. 

Kategori penunjang suatu pekerjaan harus memenuhi tiga kriteria, yakni berisiko rendah, tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi perbankan yang tinggi, dan tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank. Yang termasuk dalam kategori ini misalnya call center, aktivitas pemasaran (telemarketing, direct sales/ sales representative), penagihan, jasa kurir, sekuriti, messenger, office boy dan sekretaris. Sedangkan untuk praktek kerja yang bersifat inti (core business) seperti, account officer, analis kredit, customer service, customer relation, teller, pekerjaan pemasaran, analis kelayakan, persetujuan, pencairan, pemantauan, penagihan kredit lancar merupakan bagian yang tidak boleh dilakukan outsourching.

Salah satu alasan pembentukan aturan PBI ini adalah untuk melindungi hak karyawan outsourching di dunia perbankan. Penerapan peraturan ini dilakukan karena pada kenyataannya banyak dari pekerja outsourching di dunia perbankan saat ini merupakan bagian inti bank, seperti teller dan customer service. Alasan perbankan melakukan outsourching karyawan yaitu, untuk meminimalisir biaya bank. Dengan melakukan outsourching berarti bank bisa meminimalisir pengeluaran karena gaji untuk karyawan outsourching cenderung lebih rendah dibandingkan gaji karyawan tetap. Hal ini tentunya tidak mencerminkan nilai hasil kewajaran atas posisinya dalam bekerja dengan hasil yang didapatkannya.

Dalam menyikapi hal ini, sebenarnya tujuan praktek kerja outsourching di Indonesia saat ini sangat bertentangan dengan tujuan-tujuan syariah (maqashid syariah).  Salah satu alasan utama perusahaan menggunakan jasa pekerja outshourching adalah untuk efisiensi. Namun pada praktek outsourcing ini, perusahaan sering menekan biaya upah ataupun menetapkan harga yang rendah tanpa melihat dari segi kontribusi (marginal maslahah) yang diberikan seorang pekerja outsorching tersebut terhadap perusahaan.
Penyalahgunaan wewenang outsourching pada bagian inti perbankan seperti merupakan hal yang sudah menyalahi aturan yang ada, baik dari segi aturan undang-undang maupun aturan syariah. Dengan tingkat gaji yang rendah, hal ini tentunya menunjukkan suatu ketidakadilan yang sudah menyalahi aturan syariah dimana tujuan maslahah dari bekerja tersebut belum tercapai. Dalam hal ini, dari sudut pandang syariah, manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dengan posisi yang diraihnya sudah sepatutnya mendapatkan nilai-nilai keadilan yang tidak hanya bisa diukur dengan tingkat upah namun lebih daripada itu. Seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Kholdun, kerja merupakan implementasi fungsi kekhalifahan manusia yang diwujudkan dalam menghasilkan suatu nilai tertentu yang ditimbulkan dari hasil kerja (Mukaddimah:684). 

Peraturan PBI yang baru ini, merupakan salah satu upaya pemerintah dalam melindungi tenaga kerja yang memiliki posisi yang penting dalam suatu perbankan. Namun, melalui telaah konsep  syariah dalam bekerja, sebenarnya perlindungan terhadap tenaga kerja harus memperhatikan unsur-unsur (maqashid syariah)  dalam mencapai kesejahteraan (mashlahah) tenaga kerjanya. Bukan sekedar perlindungan terhadap tenaga kerja inti namun juga tenaga kerja yang berasal dari outsourching juga harus diperhatikan. Karena tidak jarang pegawai outsourcing memberikan kontribusi yang cukup banyak bagi perusahaan.

Konsep efisiensi yang dilakukan perusahaan dengan merekrut pekerja melaui outsourching dengan mempertimbangkan pengurangan biaya perusahaan sebenarnya jauh dari keadilan dan tidak akan mencapai tingkat efisiensi untuk jangka panjang. Hal ini karena perusahaan yang menggunakan jasa outshourching tidak memperhatikan lima konsep dasar syariah manusia sebagai khalifah dimukan bumi ini dalam bekerja (amal). Hal ini nantikanya akan menimbulkan masalah yang membuat konsep efisiensi yang diharapkan tidak dapat tercapai.

Dalam Islam kerja (amal) memiliki makna yang lebih luas daripada sekedar bekerja untuk mendapatkan upah, jadi bukan sekedar aktivitas yang bersifat duniawi, tetapi memiliki nilai transendensi. Kerja merupakan sarana untuk mencari penghidupan serta untuk mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada makhluk-Nya. Hal ini menjadi suatu dasar yang harus dimiliki oleh manusia dalam bekerja. Ketika kita melihat konsep efesiensi outsorching berdasarkan lima konsep dasar maqasid syariah, maka efisiensi tidak akan tercapai ketika lima konsep dasar ini belum terpenuhi. 

Pertama, praktek kerja utsourcing merupakan salah satu bentuk penyalahan dalam konsep menjaga jiwa (hifzh an-nafs)  dalam konsep maqasid syariah karena gaji yang diberikan untuk karywan outsourching cenderung jauh lebih kecil yaitu, sepertiga dari gaji karyawan tetap. Sebuah ketidak adilan karena meskipun kontribusi yang diberikan pekerja outsourching cukup besar terhadap perusahaan, pekerja tetap akan mendapatkan gaji kecil dan tanpa gaji tambahan seperti yang didapatkan oleh karyawan tetap. Dengan gaji yang kecil tersebut, tentu kebutuhan pokok pekerja outsourching tersebut tidak akan terpenuhi secara sempurna dan pemenuhan hifzh an-nafs nya tidak dapat tercapai. Selain hifzh an-nafs nya tidak tercapai, perlakuan yang tidak adil juga terjadi dengan pemberian gaji yang tidak sesuai dengan kontribusi kerja yang diberikan.

Kedua, dilihat dari konsep menjaga ‘aqal (hifzh al-aql), praktek kerja outsorching dapat menghambat pekerja dalam bentuk pengembangan pengetahuan.  Pengembangan pengetahuan pekerja outsourching terhambat karena tidak adanya kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir meskipun dengan latar pendidikan dan jenis pekerjaan yang tidak jauh berbeda dengan pekerja tetap.   Gaji yang cenderung lebih kecil, menyebabkan pekerja kurang termotivasi untuk bekerja seoptimal mungkin untuk perusahaan. Dengan demikian, efesiensi yang diharapkan tidak akan terpenuhi dengan ethos pekerja outsourching yang lebih rendah karena tidak adanya sense belonging pekerja dengan statusnya sebagai tenaga kerja kontrak. Kemudian loyalitas kerja pekerja outsourcing yang menurun karena gaji yang didapatkan kecil akan berakibat pada menurunnya kinerja perusahaan.

Ketiga, konsep outsourching menyalahi konsep menjaga harta (hifzh al-maal) dalam ilmu maqasid syariah. Dengan gaji pekerja outsourching yang kecil dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok, pekerja akan berusaha mengambil jalan lain agar kebutuhannya tersebut dapat terpenuhi. Ketika jalan pemenuhan kebutuhan tersebut adalah jalan yang benar, mungkin itu tidak akan menjadi masalah yang besar. Namun ketika pekerja outsourching memilih jalan yang tidak sesuai dengan jalur syariat, maka tentu itu akan menjadi sebuah masalah baru. Salah satu contohnya yaitu, ketika karyawan melakukan korupsi dengan alasan kebutuhan pokoknya tidak dapat terpenuhi dengan gaji yang kecil. Hal itulah yang saat ini sering terjadi, gaji yang tidak memenuhi dijadikan salah satu alasan mereka melakukan sebuah tindakan yang melangga syariah. Dengan demikian, kesucian harta (hifzh al-maal)  yang dimilikinya dapat rusak karena cara yang salah dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. 

Berdasarkan analisa berdasarkan ilmu maqasid syariah diatas, tentunya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa konsep outsourching yang saat ini dipraktekan dalam dunia kerja sudah menyalahi beberapa konsep maqasid syariah. Penyalahan konsep maqasid syariah diatas akan mengakibatkan konsep efisiensi yang diharapkan akan berbalik menjadi penghalang terwujudnya efesiensi untuk jangka panjang karena tidak terpenuhinya tiga konsep dasar maqasid syariah tersebut. Bahkan ancaman kerugian akan menghampiri perbankan karena kurangnya loyalitas dan ethos kerja karyawan outsourching akibat gaji yang sangat minim. Akibatnya perusahaan yang diharapkan akan semakin maju dengan pengeluaran yang kecil, akan mengalami penurunan kinerja yang dapat menimbulkan kerugian secara tidak langsung.

Konsep tidak terpenuhinya sebuah keadilan dalam praktek kerja outsourching merupakan hal yang juga harus diperhatikan. Konsep gaji karyawan outsourching harusnya juga memperhatikan kontribusi yang diberikan oleh karyawan outsourching tersebut. Oleh karena itu division of labour dalam ekonomi Islam menjadi salah satu topik kajian yang penting, sebagaimana yang telah dibahas oleh Ibnu Khaldun. Hal ini memiliki hubungan dengan prinsip yang telah dikemukakan oleh beliau dalam sebuah karya tulisnya, bahwa tingkat upah yang diberikan kepada pekerja harus sesuai dengan usahanya, baik jenis pekerjaan maupun keahlian atau profesi pekerja itu sendiri. Jadi hasil usaha sesorang merupakan nilai dari pekerjaan manusia tersebut. (Mukaddimah:686).

Ketika praktek outsourching dengan konsep efisiensi ini dilakukan di perbankan syariah, tentunya citra bank syariah yang mencerminkan keadilan dan kepercayaan akan menjadi rusak. Aktifitas operasional sebuah bank syariah yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam, menjadi hal yang harus diperhatikan dalam setiap aktivitasnya. Mengoperasikan perbankan yang sesuai syariah tidak hanya dalam bentuk sistem, namun juga dalam pengelolaan seluruh lini perusahaannya termasuk sumber daya manusia. Dengan demikian, bank syariah tidak hanya menjadi representasi sebuah institusi perbankan yang peduli terhadap halal-haram tetapi juga berkeadilan dan menjadi lembaga dakwah bagaimana perusahaan memperlakukan karyawannya sesuai syariah. 

Ditinjau dari alur kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam, bekerja merupakan salah satu cara mengangkat kualitas dan derajat hidup manusia. Kerja merupaka aktifitas yang dapat menjadikan manusia bernilai dan berguna di mata Allah dan Rasul-Nya, serta di mata masyarakat. Harga diri manusia dapat dilihat dari apa yang dikerjakannya, demikian pula masyarakat  menilai seseorang dari apa yang dikerjakannya. Menurut Ibnu Khaldun, kerja merupakan implementasi fungsi kekhalifahan manusia yang diwujudkan dalam menghasilkan suatu nilai tertentu yang ditimbulkan dari hasil kerja (Ekonomi Islam: 363).

Keadilan dalam pemberian gaji dapat diimplementasikan dalam perbankan syariah dalam bentuk pemberian gaji yang sesuai dengan kontribusi yang diberikan pekerja. Pemberian gaji berdasarkan status pekerja merupakan kesalahan yang besar, karena tidak selamanya seorang pekerja dengan status pekerja outsourching memiliki kontribusi lebih kecil bagi perusahaan dibandingkan pekerja tetap. Tingkat gaji menjadi cermin seberapa besar kontribusi pekerja terhadap perusahaan dan seberapa besar pengahargaan perusahaan terhadap kontribusi pekerja tersebut. Gaji yang diberikan juga harus mampu memenuhi kebutuhan pokok pekerja agar tujuan maslahah dari bekerja dapat tercapai. Ketika seorang Richard Branson berupaya keras agar karyawan di Virgin Group bisa menikmati hidup memuaskan, maka demikian pula seharusnya bank syariah.

                                  

Daftar Pustaka

Pusat Pengkajian Ekonomi Islam, 2008, Ekonomi Islam, Jakartta: PT RajaGrafindo Persada.

Khaldun, Ibnu., 2001, Mukaddimah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Khakim, Luthfil., 2012, Bank Kian Tidak Efisien Tanpa Outsourcing Per 12 Februari 2012 <http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_type=0&article_category=6>

Infobanknews, 2011, Menyoal tenaga Outsourcing di Perbankan Per 5 April 2011 <http://www.infobanknews.com/2011/04/menyoal-tenaga-outsourcing-di-perbankan-2/>

Nuryono, Sandiyu., BI Resmi Terbitkan PBI Outsourching Per 13 Desember 2011,
<http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1807269/bi-resmi-terbitkan-pbi-outsourcing>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar