Praktek kerja outsourching,
bukanlah hal baru dalam dunia kerja di Indonesia. Semenjak krisis financial
melanda Asia Tenggara dan Asia Timur pada tahun 1997, praktek kerja outsourching
semakin marak di Indonesia. Apalagi sejak pengesahan Undang-undang nomor 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Indonesia. Lahirnya Undang-Undang ini, memberikan
peluang kepada perusahaan di Indonesia untuk mengadopsi fleksibilitas pasar tenaga
kerja yang memungkinkan terjadinya praktek outsourching tenaga kerja.
Dalam pandangan konvensional, tenaga kerja dan capital
memiliki kedudukan yang setara, dimana keduanya adalah subtansi yang sempurna.
Penggunaan tenaga kerja, sebagaimana penggunaan modal, dapat sepenuhnya saling
menggantikan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan produktifitas. Sehingga
dalam praktek nyata, implementasi konsep subtitusi ini telah menimbulkan
berbagai permasalahan ekonomi sosial, salah satu yaitu ekploitasi dan pemutusan
hubungan kerja dan berbagai bentuk dehumanisasi lainnya (Ekonomi Islam: 264).
Hubungan ketenaga kerjaan dengan sistem outsourching
tidak hanya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang industri,
namun juga perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa seperti perbankan. Salah
satu alasan perusahaan melakukan praktek kerja outsourching yaitu, untuk
efektifitas dan efisiensi biaya perusahaan. Dengan diberlakukannya sistem kerja
outsourching, berarti perusahaan bisa melakukan efisiensi biaya dengan mempekerjakan tenaga kerja tetap dengan
jumlah seminimal mungkin. Hal ini dilakukan agar
perusahaan bisa lebih fokus memberikan
kontribusi pada bagian inti perusahaan atau dikenal dengan istilah core business.
Namun praktek kerja outsourching
yang dilakukan di Indonesia saat ini sudah mulai keluar dari pengertian yang
sesungguhnya. Begitu banyak pekerja outsourching yang dirugikan dengan
adanya praktek kerja ini. Meskipun semua aturan tentang outsourching sudah
dijelaskan di dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003, tetapi aturan ini masih
sering dilanggar oleh perusahaan. Hal ini menyebabkan terjadinya protes dari
para pekerja outsourching yang akhirnya membuat Mahkamah Konstitusi (MK)
melakukan beberapa kali revisi undang-undang demi melindungi hak-hak pekerja.
Pada tanggal 9 Desember 2011, Bank
Indonesia menerbitkan PBI No 13/25/PBI/2011 tentang prinsip kehati-hatian bagi
Bank Umum yang akan melakukan praktek outsourching terhadap karyawannya.
Peraturan ini menjadi pedoman bagi praktik outsourcing
di industri perbankan nasional. Dalam PBI tersebut, pekerjaan di bank dibedakan
dalam dua kelompok berdasarkan sifatnya, yakni pekerjaan pokok dan pekerjaan
penunjang. Pekerjaan penunjang inilah yang diperbolehkan untuk di-outsource-kan
atau dialih dayakan kepada pihak ketiga. Di dalam aturan itu dijelaskan bahwa
praktek kerja outsourching hanya boleh dilakukan untuk bagian-bagian
pekerjaan yang bersifat menunjang (non core business) atau kegiatan
usaha pendukung usaha bank.
Kategori penunjang suatu pekerjaan
harus memenuhi tiga kriteria, yakni berisiko rendah, tidak membutuhkan
kualifikasi kompetensi perbankan yang tinggi, dan tidak terkait langsung dengan
proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank. Yang termasuk
dalam kategori ini misalnya call center, aktivitas pemasaran (telemarketing,
direct
sales/ sales representative), penagihan,
jasa kurir, sekuriti, messenger, office
boy dan sekretaris. Sedangkan untuk praktek kerja yang bersifat
inti (core business) seperti, account officer, analis kredit, customer
service, customer relation, teller, pekerjaan
pemasaran, analis kelayakan, persetujuan, pencairan, pemantauan, penagihan
kredit lancar merupakan bagian yang tidak boleh dilakukan outsourching.
Salah satu
alasan pembentukan aturan PBI ini adalah untuk melindungi hak
karyawan outsourching di dunia perbankan. Penerapan
peraturan ini dilakukan karena pada
kenyataannya banyak
dari pekerja outsourching di dunia perbankan saat ini merupakan bagian inti bank, seperti
teller dan customer service. Alasan perbankan melakukan outsourching
karyawan yaitu, untuk meminimalisir biaya bank. Dengan melakukan outsourching
berarti bank bisa meminimalisir pengeluaran karena gaji untuk karyawan outsourching
cenderung lebih rendah dibandingkan gaji karyawan tetap. Hal ini
tentunya tidak mencerminkan nilai hasil kewajaran atas posisinya dalam bekerja
dengan hasil yang didapatkannya.
Dalam menyikapi hal ini, sebenarnya tujuan praktek kerja outsourching di Indonesia saat ini sangat
bertentangan dengan tujuan-tujuan syariah (maqashid
syariah). Salah satu alasan utama perusahaan
menggunakan jasa pekerja outshourching adalah untuk efisiensi. Namun pada praktek outsourcing
ini, perusahaan sering menekan biaya upah ataupun menetapkan harga yang rendah
tanpa melihat dari segi kontribusi (marginal maslahah) yang diberikan seorang pekerja outsorching tersebut terhadap perusahaan.
Penyalahgunaan
wewenang outsourching pada bagian inti perbankan seperti merupakan hal
yang sudah menyalahi aturan yang ada, baik dari segi aturan undang-undang
maupun aturan syariah. Dengan tingkat gaji yang rendah,
hal ini tentunya menunjukkan suatu ketidakadilan yang sudah menyalahi aturan syariah dimana tujuan maslahah
dari bekerja tersebut belum tercapai. Dalam hal ini, dari sudut pandang
syariah, manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dengan posisi yang
diraihnya sudah sepatutnya mendapatkan nilai-nilai keadilan yang tidak hanya
bisa diukur dengan tingkat upah namun lebih daripada itu. Seperti yang diungkapkan
oleh Ibnu Kholdun, kerja merupakan
implementasi fungsi kekhalifahan manusia yang diwujudkan dalam menghasilkan
suatu nilai tertentu yang ditimbulkan dari hasil kerja (Mukaddimah:684).
Peraturan PBI yang
baru ini, merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam melindungi
tenaga kerja yang memiliki posisi yang penting dalam suatu perbankan. Namun,
melalui telaah konsep syariah dalam
bekerja, sebenarnya perlindungan terhadap tenaga kerja harus memperhatikan
unsur-unsur (maqashid syariah) dalam mencapai kesejahteraan (mashlahah) tenaga kerjanya. Bukan
sekedar perlindungan terhadap tenaga kerja inti namun juga tenaga kerja yang
berasal dari outsourching juga harus
diperhatikan. Karena tidak jarang pegawai outsourcing
memberikan kontribusi yang cukup banyak bagi perusahaan.
Konsep efisiensi
yang dilakukan perusahaan dengan merekrut pekerja melaui outsourching dengan mempertimbangkan pengurangan biaya perusahaan
sebenarnya jauh dari keadilan dan tidak akan mencapai tingkat efisiensi untuk jangka
panjang. Hal ini karena perusahaan yang menggunakan jasa outshourching tidak memperhatikan lima konsep dasar syariah manusia sebagai khalifah dimukan
bumi ini dalam bekerja (amal). Hal
ini nantikanya akan menimbulkan masalah yang membuat konsep efisiensi yang
diharapkan tidak dapat tercapai.
Dalam Islam kerja (amal) memiliki makna yang lebih luas
daripada sekedar bekerja untuk mendapatkan upah, jadi bukan sekedar aktivitas
yang bersifat duniawi, tetapi memiliki nilai transendensi. Kerja
merupakan sarana untuk mencari penghidupan serta untuk mensyukuri nikmat Allah
yang diberikan kepada makhluk-Nya. Hal ini menjadi suatu dasar yang harus
dimiliki oleh manusia dalam bekerja.
Ketika kita melihat konsep efesiensi outsorching berdasarkan lima konsep
dasar maqasid syariah, maka efisiensi tidak akan tercapai ketika lima
konsep dasar ini belum terpenuhi.
Pertama,
praktek kerja utsourcing merupakan salah satu bentuk penyalahan dalam konsep menjaga
jiwa (hifzh an-nafs) dalam konsep maqasid syariah karena
gaji yang diberikan untuk karywan outsourching cenderung jauh lebih
kecil yaitu, sepertiga dari gaji karyawan tetap. Sebuah ketidak adilan karena meskipun
kontribusi yang diberikan pekerja outsourching cukup besar terhadap
perusahaan, pekerja tetap akan mendapatkan gaji kecil dan tanpa gaji tambahan
seperti yang didapatkan oleh karyawan tetap. Dengan gaji yang kecil tersebut,
tentu kebutuhan pokok pekerja outsourching tersebut
tidak akan terpenuhi secara sempurna dan pemenuhan hifzh an-nafs nya tidak dapat tercapai. Selain hifzh an-nafs nya tidak tercapai, perlakuan yang tidak adil juga
terjadi dengan pemberian gaji yang tidak sesuai dengan kontribusi kerja yang
diberikan.
Kedua,
dilihat dari konsep menjaga ‘aqal (hifzh
al-aql), praktek kerja outsorching
dapat menghambat pekerja dalam bentuk pengembangan pengetahuan. Pengembangan pengetahuan pekerja outsourching
terhambat karena tidak adanya kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir
meskipun dengan latar pendidikan dan jenis pekerjaan yang tidak jauh berbeda
dengan pekerja tetap. Gaji yang cenderung lebih kecil, menyebabkan
pekerja kurang termotivasi untuk bekerja seoptimal mungkin untuk perusahaan.
Dengan demikian, efesiensi yang diharapkan tidak akan terpenuhi dengan ethos
pekerja outsourching
yang lebih rendah karena tidak adanya sense
belonging pekerja dengan statusnya sebagai tenaga kerja kontrak. Kemudian
loyalitas kerja pekerja outsourcing yang menurun karena gaji yang didapatkan
kecil akan berakibat pada menurunnya kinerja perusahaan.
Ketiga,
konsep outsourching
menyalahi konsep menjaga harta (hifzh
al-maal) dalam ilmu maqasid syariah. Dengan gaji pekerja outsourching yang
kecil dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok, pekerja akan berusaha mengambil
jalan lain agar kebutuhannya tersebut dapat terpenuhi. Ketika jalan pemenuhan
kebutuhan tersebut adalah jalan yang benar, mungkin itu tidak akan menjadi
masalah yang besar. Namun ketika pekerja outsourching
memilih jalan yang tidak sesuai dengan jalur syariat, maka tentu itu akan
menjadi sebuah masalah baru. Salah satu contohnya yaitu, ketika karyawan
melakukan korupsi dengan alasan kebutuhan pokoknya tidak dapat terpenuhi dengan
gaji yang kecil. Hal itulah yang saat ini sering terjadi, gaji yang tidak
memenuhi dijadikan salah satu alasan mereka melakukan sebuah tindakan yang melangga
syariah. Dengan demikian, kesucian harta (hifzh
al-maal) yang dimilikinya dapat
rusak karena cara yang salah dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.
Berdasarkan analisa
berdasarkan ilmu maqasid syariah diatas, tentunya kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa konsep outsourching yang saat ini dipraktekan dalam
dunia kerja sudah menyalahi beberapa konsep maqasid syariah. Penyalahan
konsep maqasid syariah diatas akan mengakibatkan konsep efisiensi yang
diharapkan akan berbalik menjadi penghalang terwujudnya efesiensi untuk jangka
panjang karena tidak terpenuhinya tiga konsep dasar maqasid syariah tersebut. Bahkan
ancaman kerugian akan menghampiri perbankan karena kurangnya loyalitas dan ethos
kerja karyawan outsourching akibat gaji yang sangat minim. Akibatnya
perusahaan yang diharapkan akan semakin maju dengan pengeluaran yang kecil,
akan mengalami penurunan kinerja yang dapat menimbulkan kerugian secara tidak
langsung.
Konsep tidak terpenuhinya sebuah keadilan dalam
praktek kerja outsourching merupakan hal yang juga harus diperhatikan.
Konsep gaji karyawan outsourching harusnya juga memperhatikan kontribusi
yang diberikan oleh karyawan outsourching tersebut. Oleh karena itu division
of labour dalam ekonomi Islam menjadi salah satu topik kajian yang
penting, sebagaimana yang telah dibahas oleh Ibnu Khaldun. Hal ini memiliki
hubungan dengan prinsip yang telah dikemukakan oleh beliau dalam sebuah karya
tulisnya, bahwa tingkat upah yang diberikan kepada pekerja harus sesuai dengan
usahanya, baik jenis pekerjaan maupun keahlian atau profesi pekerja itu
sendiri. Jadi hasil usaha sesorang merupakan nilai dari pekerjaan manusia
tersebut. (Mukaddimah:686).
Ketika praktek outsourching dengan konsep
efisiensi ini dilakukan di perbankan syariah, tentunya citra bank syariah yang
mencerminkan keadilan dan kepercayaan akan menjadi rusak. Aktifitas
operasional sebuah bank syariah yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam, menjadi hal yang harus diperhatikan dalam setiap aktivitasnya. Mengoperasikan
perbankan yang sesuai syariah tidak hanya dalam bentuk sistem, namun juga dalam
pengelolaan seluruh lini perusahaannya termasuk sumber daya manusia. Dengan demikian, bank syariah tidak hanya menjadi
representasi sebuah institusi perbankan yang peduli terhadap halal-haram tetapi
juga berkeadilan dan menjadi lembaga dakwah bagaimana perusahaan memperlakukan
karyawannya sesuai syariah.
Ditinjau dari alur
kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam, bekerja merupakan salah satu
cara mengangkat kualitas dan derajat hidup manusia. Kerja
merupaka aktifitas yang dapat menjadikan manusia bernilai dan berguna di mata
Allah dan Rasul-Nya, serta di mata masyarakat. Harga diri manusia dapat dilihat
dari apa yang dikerjakannya, demikian pula masyarakat menilai seseorang dari apa yang dikerjakannya.
Menurut Ibnu Khaldun, kerja merupakan implementasi fungsi kekhalifahan manusia
yang diwujudkan dalam menghasilkan suatu nilai tertentu yang ditimbulkan dari
hasil kerja (Ekonomi Islam: 363).
Keadilan dalam
pemberian gaji dapat diimplementasikan dalam perbankan syariah dalam bentuk
pemberian gaji yang sesuai dengan kontribusi yang diberikan pekerja.
Pemberian gaji berdasarkan status pekerja merupakan kesalahan yang besar,
karena tidak selamanya seorang pekerja dengan status pekerja outsourching
memiliki kontribusi lebih kecil bagi perusahaan dibandingkan pekerja tetap. Tingkat
gaji menjadi cermin seberapa besar
kontribusi pekerja terhadap perusahaan dan seberapa besar pengahargaan
perusahaan terhadap kontribusi pekerja tersebut. Gaji yang diberikan juga harus
mampu memenuhi kebutuhan pokok pekerja agar tujuan maslahah dari bekerja
dapat tercapai. Ketika seorang Richard Branson berupaya keras agar
karyawan di Virgin Group bisa menikmati hidup memuaskan, maka demikian pula
seharusnya bank syariah.
Daftar Pustaka
Pusat Pengkajian Ekonomi Islam,
2008, Ekonomi Islam, Jakartta: PT RajaGrafindo Persada.
Khaldun, Ibnu., 2001, Mukaddimah,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Khakim,
Luthfil., 2012, Bank Kian Tidak Efisien Tanpa Outsourcing Per 12 Februari
2012 <http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_type=0&article_category=6>
Infobanknews,
2011, Menyoal tenaga Outsourcing di Perbankan Per 5 April 2011 <http://www.infobanknews.com/2011/04/menyoal-tenaga-outsourcing-di-perbankan-2/>
Nuryono, Sandiyu., BI Resmi
Terbitkan PBI Outsourching Per 13 Desember 2011,
<http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1807269/bi-resmi-terbitkan-pbi-outsourcing>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar